BEBERAPA waktu yang lalu sejumlah elemen masyarakat Papua yang terdiri dari Gubernur, Majelis Rakyat dan anggota DPR asal dapil Papua menolak keras rencana pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur, karena menurut mereka, selama hampir 50 tahun Freeport beroperasi tidak membawa perubahan berarti bagi tanah Papua.
Keinginan pemerintah dan juga masyarakat Papua agar Freeport membangun Smelter tidak begitu saja diindahkan oleh Freeport karena mereka ingin agar kontrak karya yang akan berakhir 6 tahun lagi itu segera diperbaharui sesuai dengan kontrak karya yang didalamnya terdapat pasal "Dapat" diperpanjang hingga 2 x 10 tahun sehingga ada jaminan investasi jika Freeport jadi membangun smelter yang akan menghabisakan dana sekitar 2 milliar dolar AS.
Dalam perhitungan Freeport, untuk membangun smelter dibutuhkan waktu sekitar 7 tahun karena sumber daya energi atau pembangkit listrik berdaya besar yang menjadi persyaratan untuk membangun smelter hingga kini belum ada mengingat di Propinsi Papua saja PLN hanya menggunakan pembangkit tenaga diesel dengan bahan bakar solar yang harus didatangkan dari luar Papua.
Selain itu diperlukan pula pembangunan industri yang terintegrasi agar dapat memanfaatkan limbah smelter yang hingga kini belum ada di Papua. Apabila limbah smelter yang berupa Asam Sulfat Kuat tidak diserap dan digunakan oleh industri yang bersebelahan, maka selain akan membutuhkan biaya yang mahal untuk pengelolaan Asam Sulfat Kuat juga beresiko tinggi terhadap kelestarian lingkungan sekitar.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJNM) Pemerintah Indonesia sebenarnya meninginkan agar pembangunan smelter harus di Papua bukan di Gresik, Jawa Timur. Jika pembangunan smelter, PLTA dan industri penunjang dapat dibangun di Papua tentu akan menciptakan lapangan kerjabaru dan juga investasi bagi daerah Papua yang secara tidak langsung akan menggairahkan pembangunan di Papua.
Sangat disayangkan pernyataan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian ESDM, R Suhyar, Jumat yang lalu, (23/1), yang mengatakan bahwa Freeport bisa membangun industri di Papua, paling gampang adalah membangun industri hilir berbasis tembaga. Menurut Sukhyar, opsi ini lebih mudah ketimbang Freeport membangun smelter di Papua.Dikatakannya, sudah ada pasokan tembaga yang bisa dipasok ke Papua. Dan industri hilir tembaga dinilai lebih menjanjikan, seperti pipa, tembaga aloy, kawat, dan plat-plat baja, yang menurut Syukar lebih promising.Pernyataan Dirjen Minerba itu menunjukan bahwa pemerintah takut bila Freeport hekang dari Bumi Papua.
Padahal jika smelter tidak jadi dibangun oleh Freeport dalam batas waktu yang diberikan maka Freeport harus hekang dari bumi Papua, dan PT Aneka Tambang dengan dukungan dari sejumlah BUMN-BUMD dan perusahaan dalam negeri lainnya dapat mengolah tambang yang ditinggalkan PT Freeport, sehingga Bumi Papua beserta isinya benar-benar dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Papua.
Bahkan mantan Staf Khusus era Presiden SBY, Andi Arief mengatakan bahwa Indonesia masih memiliki kekayaan yang nilainya jauh lebih besar daripada tambang emas PT Freeport, yaitu Gunung Padang yang didalamnya masih tersimpan harta yang tak ternilai dan tengah menjadi incaran dunia internasional seperti Rusia, Israel, Amerika, dan lain-lainnya.
Kalau Jokowi berani mengukum mati lima warga negara asing karena kasus Narkoba, mengapa pula Jokowi tidak berani menyudahi kontrak karya PT Freeport yang telah merugikan bangsa Indonesia puluhan tahun lamanya?
Oleh: Dar Edi Yoga
Comments